the midterm test

raye
2 min readApr 13, 2024

Akhir bulan April sampai awal Mei adalah salah satu waktu yang paling saya benci, Dosen berlomba-lomba untuk mengatur jadwal Ujian Tengah Semester, untuk menguji pengetahuan kami selama setengah semester ke belakang, katanya.

Seminggu yang lalu, salah satu Dosen saya mengadakan UTS mendadak di kelas, begitu mendadak sampai saya tidak memiliki persiapan apa-apa. Saya tidak terlalu ambil pusing, toh, akhir-akhir ini saya memang jarang mempersiapkan diri untuk menghadapi ujian. Beberapa teman menggerutu, takut hasil UTS tanpa persiapan ini akan menghancurkan nilai akhirnya. Oh, batin saya, mungkin saya harus merasa sedikit khawatir. Tapi kenapa saya tidak bisa menemukan rasa khawatir itu?

Saya ingin mengatakan bahwa kami beruntung hari itu, tapi apakah mendapatkan UTS mendadak bisa disebut beruntung? Beruntungnya, soal ujian hari itu bukanlah jenis soal yang menuntut kemampuan menghafal dan memahami materi. Yang kamu perlukan untuk menjawab soal hari itu adalah kemampuan untuk memahami dirimu sendiri.

Pertanyaan pertama adalah “tulislah kelemahanmu!”

Saya hampir bersorak kegirangan, merasa yakin akan mendapatkan nilai yang tidak buruk-buruk sekali. Saya tersenyum saat Bapak Dosen mengucapkan pertanyaan itu, aku tahu kekuranganku, batin saya, mereka sangat familiar seperti tengah melihat ke arah cermin.

Sepuluh menit. Dosen saya memberikan waktu sepuluh menit untuk kami menuliskan jawaban. Sepuluh menit terlalu lama untuk saya. Kertas polos berwarna putih di hadapan saya sudah penuh berhiaskan tinta dan lima menit baru saja berlalu. Sangat mudah, saya mengenal kekurangan saya seperti induk kucing mengenal anaknya. Tangan saya bergerak seperti pelukis handal di atas kanvas, menulis kekurangan demi kekurangan yang ada pada diri saya.

Waktu habis, sepuluh menit habis dimakan waktu. Kami berhenti menulis dan Bapak Dosen siap mengumandangkan pertanyaan kedua. Saya masih tersenyum, masih terbayang euforia saat berhasil mengisi kertas begitu cepat dengan kekurangan saya.

Pertanyaan kedua adalah “tulislah kelebihanmu!”

Saya merasakan senyum itu terjatuh dari bibir, saya terdiam. Sial, batin saya, apa kelebihanku?

Dulu saya apa tahu kelebihan saya. Garis bawahi kata dulu.

Dulu saya merasa bahwa saya memiliki banyak kelebihan, saya cukup baik dalam melakukan beberapa hal dalam beberapa bidang. Masalahnya, sekarang saya tidak yakin apakah kemampuan saya itu sudah cukup untuk disebut ‘kelebihan’.

Dulu saya kira saya memiliki kemampuan berbicara di depan publik yang cukup baik. Dulu saya rasa tulisan saya cukup layak untuk menghibur mata dan pikiran. Dulu saya kira, kepala saya berteman dengan otak yang cerdas. Namun seiring waktu berjalan, saya tidak yakin apakah itu adalah kebenaran atau sebatas fatamorgana yang saya buat untuk menghibur hati saya sendiri?

Bapak Dosen memberi waktu sepuluh menit untuk menuliskan jawaban di atas kertas. Saya memandangi kertas yang dipenuhi oleh kekurangan saya dengan pikiran yang kosong. Apa kelebihan saya?

“Satu menit lagi!”

Saya menuliskan satu kalimat.

“Waktu habis, kumpulkan secara kolektif ke depan.”

Saya hebat dalam mengetahui kekurangan saya.

Pada akhirnya saya menemukan rasa khawatir itu.

--

--

raye

I love to write about little things that happen in life