Angin menderu-deru,
tak tega tinggalkan hujan sendiri untuk menyapa bumi.
Pagi buta berteman amuk hujan,
dinginnya tak terelakkan,
menusuk hingga ke tulang seperti musuh bebuyutan.
Pecah badai di pagi hari itu,
tak sendiri,
berteman pecah tangismu di pagi hari itu.
Sekarang jam 3 di pagi hari, kenapa kamu menangis?
Sayang,
tiada yang dengar tangismu,
masing-masing sibuk terlelap,
bersua dengan mimpi.
Malangnya,
tiada yang seka air matamu,
tangan mereka sibuk menarik selimut sedangkan tanganmu sibuk rangkai hati yang baru saja runtuh.
Lagipula sekarang jam 3 di pagi hari, kenapa kamu menangis?
Begitu berat kah beban yang hatimu tanggung?
Seperti bumi yang menekan Atlas,
apa isi benakmu menekan begitu dahsyat sampai air mata menyembur?
Sayang,
dari sekian banyak waktu, kenapa harus sekarang?
Sekarang jam 3 di pagi hari, kenapa kamu menangis?
Apakah sanubari berteman sunyi sebegitu mengganggu?
Tapi Sayang,
pagi ini tidak sunyi.
Kudengar amukan hujan di luar sana.
Apa hatimu iri?
Ingin turut mengamuk,
melepas beban seperti awan yang ucapkan perpisahan pada air hujan?
Kulihat jam di dinding tunjukkan sekarang jam 3 di pagi hari, kenapa kamu menangis?
Sengaja kah,
Biar tiada yang dengar?
Tapi Sayang,
bukankah kamu selalu teriak kesakitan?
Mereka bukannya tidak dengar,
mereka hanya memalingkan wajahnya.
Karena,
Sayang,
peduli itu rumit urusannya.
Sekarang jam 3 di pagi hari, tiada yang larang kamu untuk menangis.